Foto-foto Nyentrik Ala Gus Dur
















Gus Dur (bagusing ati pijer ditandur)
sosok priyayi langka neng alam donya, omongane sok lucu ning ndue bobot nyoto.
polahe glenak glenuk kebak uleme sanepa,tekan sapadha padha njuluki setengah dewa
wong china krasa kepotongan budi kang mulya, jalaran imlek lan akeh kebudayaane digelar blaka.
liang liong barongse wayang potehi urip nyukma, ya wis kependhem pirang pirang mangsa kalena
falsafah uripe ngrangkul sapa wae sing ana, ra mbedakake agama utawa bangsa manca
mula uripe ngrangkul sapa wae sing ana, ra mbedake agama utawa bangsa manca
mula kita kudune nglestareake ikhlas legawa, panutan jalma angel tenan digoleki sanuswantara
ngayogyakarta
26 desember 2010
koh hwat

Itulah geguritan yang sengaja dibuat khusus untuk mengenang almarhum mantan Presiden RI, KH Abdurahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur di Acara 1000 hari mengenang Gus Dur yang digelar di Halaman DPRD Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta(DIY) di Kawasan Malioboro Kota Yogya Kamis (27/9) malam. Geguritan itu sengaja dibuat oleh penyair keturunan Tionghoa yang dekat dengan Gus Dur saat masa-masa hidupnya.
'Saya dibel Agus dia beken di GP Anshor, mbok tulung gawe geguritan untuk 1.000 tahun Gus Dur. Saya langsung buat tulisan dalam 20 menit. Saya konsultasikan sama guru syair saya Subali Dinata. Dalam redaksi bisa mengetahui bagaimana hutang budinya Tionghoa yang meresmikan apa yang ditulis dalam geguritan ini. Sebagai ciri khas karangan saya selalu saya beri jarwo dhosok atau kroto boso Gus Dur adalah bagusing ati pijer ditandur,' ungkap Kho Hwat, sebelum membacakan geguritan itu dan langsung diiringi tepuk tangan begitu geguritan itu usai dilantunkan di awal acara 1000 tahun Gus Dur yang dihadiri puluhan simpatisan yang dinamai Gus Durian Yogya.
Hadir dalam acara 1.000 Hari Peringatan Wafatnya Gus Dur itu di antaranya: Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ummah Kota Gede Yogyakarta KH Abdullah Muhaimin, Pendeta dari Gereja GKI Gejayan Pendeta Cahya Purnama serta Penyair dan Tokoh Tionghoa Kho Hwat.
Acara peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur ini diawali dengan pembacaan doa tahlil, kemudian dilanjutkan dengan sambutan beberapa tokoh yang dekat dengan mendiang Gus Dur saat hidup.
KH Abullah Muhaimin menyatakan acara peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur ini tidak hanya sekedar sebagai momentum saja. Namun, acara ini menjadi sebuah simbol dan gerakan.
'Saya tidak ingin 1.000 hari momentum saja. Tapi bisa menjadi penyingkir hambatan di tingkat regional dan nasional terhadap kebhinekaan dan pluralism yang kian hari kian pudar. Kalau Gus Dur saat hidup dan menjadi presiden diangkat bapak Tionghoa apa yang bisa dilakukan bapak etnis Tionghoa? Ini menjadi taruhan kita kalau kita cintai Gus Dur,' ungkapnya.
Selain itu, agama Islam yang dianut dan diemban oleh Gus Dur tidak hanya dinilai dari tinjauan teks saja. Sebab jika dilihat dari tinjauan teks secara teology saja maka sebuah agama akan menjadi kaku.
'Sebetulnya harus ada elaborasi antara teks dan kontekstual dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat agregasi atau pengelompokan, suku luar biasa bercampur suku agama. Ketika menyerupai orang lain, kelompok lain secara teologis masuk ke kelompok itu. Hari ini sangat relevan. Apalagi saat ini, banyak remaja yang ke-Indonesiaan sudah hilang. Akibatnya sering terjadi tawuran dan kekerasan di masyarakat kita ini,' jelasnya.
Pendeta Paulus Cahya Purnama Pendeta merindukan dan mengharapkan jika pemikiran dan ideologi pluralisme dan kebhinekaan yang diyakini dan diimplementasikan oleh Gus Dur selama masa hidupnya diterapkan dalam keseharian maka tidak akan terjadi kekerasan. Tidak akan terjadi perpecahan suku, agama dan antar golongan serta suku yang sering terjadi sepeninggal Gus Dur saat ini.
'Humanis, etis kemanusiaan yang tinggi, menghormati perbedaan apabila ini diterapkan di kampung-kampung, di sekolah-sekolah maka Indonesia tidak akan terjadi seperti sekarang ini. Kekerasan, tawuran dterjadi dimana-mana sampai sekarang,' tegasnya.
Selain acara diskusi mengenang sosok Gus Dur, peringatan wafatnya Gus Dur juga ditutup dengan pembacaan doa serta geguritan dari beberapa kalangan masyarakat Yogya. Suasana khusyuk dan wewangian menambah suasana peringatan wafatnya tokoh NU ini menjadi sangat berbau mistis. Apalagi ditambah dengan taburan bunga tujuh rupa dan wewangian dupa yang diletakkan didepan masa yang mengikuti doa penutup.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar