Cuma Takut Tiga Roda...

Suatu hari, saat Abdurarahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, ada pembicaraan serius. Pembicaraan bertopik isu terhangat dilakukan selesai menghadiri sebuah rapat di Istana Negara.

Diketahui, pembicaraan itu mengenai wabah demam berdarah yang kala itu melanda kota Jakarta. Gus Dur pun sibuk memperbincangkan penyakit mematikan tersebut.

"Menurut Anda, mengapa demam berdarah saat ini semakin marak di Jakarta Pak?" tanya seorang menterinya.

"Ya karena Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melarang bemo, becak, dan sebentar lagi bajaj dilarang beredar di Kota Jakarta ini. Padahal kan nyamuk sini cuma takut sama tiga roda...!"         

Ternak Lebah...

Saat Presiden Abdurrahman Wahid menjabat, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) tidak henti didemo. Setiap hari ada saja kelompok yang berdemonstrasi di departemen yang saat itu dipimpin Nur Mahmudi Ismail.

Tuntutan mereka sama, yang mendeseak pembatalan pengangkatan Sutjipto sebagai Sekjen Dephutbun.

"Sutjipto terlalu tua, copot saja!" teriak salah satu pendemo. "Sutjipto bukan pejabat karir, berikan saja jabatan itu kepada orang dalam!" pekik yang lain. "Pengangkatan Sutjipto berbau KKN, copot saja," bunyi tulisan sebuah poster yang diacungkan.

Rentetan demonstrasi yang sempat melumpuhkan sebagian kegiatan Dephutbun itu. Pasalnya, tidak sedikit karyawan yang ikutan berdemo, yang pada akhirnya menyerempet posisi Menteri Nur Mahmudi sendiri. Tapi Presiden berkeras supaya Sutjipto dipertahankan.

Dalam suasana seperti itulah cucu KH Hasyim Asy'ari itu, melantik pengurus Perhimpunan Peternak Lebah di Jakarta akhir Maret 2000.

Dalam pidatonya, Gus Dur antara lain memaparkan mengenai kondisi peternakan lebah terkini.

"Kita ini setiap tahun masih mengimpor 350 ribu ton lebah dari luar negeri," tutur dia.

Cerita Soal Naik Kereta...

Setelah mendapat larangan dari dokternya untuk tidak melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan pesawat terbang, Gus Dur kemudian nekat untuk berpergian jauh menggunakan kereta api.

"Anda mau pergi naik kerata api Gus? Memangnya Anda pikir bisa sampai tepat waktu dengan naik kereta api?" ledek si dokter.

"Anda jangan meremehkan, kereta itu cepet banget loh!" jawab mantan Presiden RI ke-4 itu.

"Kereta api mana yang bisa menandingi kecepatan pesawat terbang?" tanya dokter.

"Oho.. Anda jangan salah. Semua kereta api bisa lebih cepat dari pesawat," kilah pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 ini.

"Anda mimpi kali. Semua orang juga tahu kalau pesawat itu jelas lebih cepat dibandingkan kereta api," cecar sang dokter.

"Wah, Anda salah. Memang sekarang ini pesawat lebih cepat. Tapi itu karena kereta api baru bisa merangkak. Coba kalau kereta api nanti sudah bisa berdiri dan bisa lari. Wuiih.. pasti bakalan jauh lebih cepat dari pesawat," jawab Gus Dur, disambut wajah kecut sang dokter.       

Pengalaman Naik Haji...

Gus Dur seperti tidak pernah kehabisan cerita, khususnya yang bernada sindiran politik. Menurut dia, ada kejadian menarik di masa pemerintah Orde Baru.

Suatu kali Presiden Soeharto berangkat ke Mekkah untuk berhaji. Karena yang pegi seorang persiden, tentu sejumlah menteri harus ikut mendampingi. Salah satunya "peminta pertunjuk" yang paling rajin, Menteri Penerangan Harmoko.

Setelah melewati beberapa ritual haji, rombongan Soeharto pun melaksanakan jumrah, yakni simbol untuk mengusir setan dengan cara melempar batu ke sebuah tiang mirip patung. Di sini lah muncul masalah, terutama bagi Harmoko.

Beberapa kali batu yang dilemparkannya selau berbalik menghantam jidatnya. "Wah kenapa jadi begini ya?" cerita Gus Dus menuturkan pernyataan Harmoko yang saat itu tampak gemetar karena takut.

Lalu Harmoko pindah posisi. Hasilnya sama saja, batu yang dilemparnya seperti ada yang melempar balik ke arah dirinya. Setelah tujuh kali lemparan hasilnya selalu sama, Harmoko pun menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari posisi presiden untuk "minta petunjuk". Setelah ketemu, lalu dengan lega ia tergopoh-gopoh menghampiri Bapak Presiden.

Namun, sebelum sampai di hadapan Soeharto, ia turut mendengar bisikan "Hai manuia, sesama setan jangan saling lempar."

Tak Jawab SMS karena Tulisannya Jelek...

Suatu ketika Gus Dur membagi-bagikan handphone kepada sejumlah kiai NU. Tentu saja para kiai ini agak kikuk dengan teknologi telepon genggam itu.

Karena merasa sejumlah kiai koleganya sudah mendapatkan handphone, Gus Dur pun dengan mudah menghubungi mereka lewat telepon genggam tersebut.

Pada satu kesempatan, Gus Dur meminta kepada asistennya untuk mengirimkan SMS ke salah seorang kiai. Namun, lama ditunggu, jawaban dari sang kiai tak kunjung didapat. Alhasil Gus Dur pun menelepon sang kiai.

"Pak kiai, kalau ada SMS dari umat mbok ya dijawab," kata Gus Dur.

Lantas dengan polosnya sang kiai menjawab, "Waduh Gus, saya nggak nulis di handphone ini, soalnya tulisan saya jelek."         

Gus Dur Kagumi Pendeta Pohon...

Siapakah orang yang paling dikagumi Gus Dur? Itulah pertanyaan Jaya Suprana pada kesempatan dalam talk show di TPI beberapa waktu silam.

Untuk kawasan Asia ini, jawab Gus Dur, ada dua orang yang dianggap sebagai orang yang dianggapnya sebagai guru yang sangat dihormatinya. Satu adalah Kim Dae Jung dari Korea Selatan, dan satu lagi Sulaksiwaraksa dari Thailand.

"Kenapa Gus Dur menganggap Sulak itu guru?" tanya Jaya.

"Karena dia itu pernah dua kali mau dihukum mati karena dianggap menghina Raja," jawab Gus Dur. "Padahal dia itu pernah mencoba menyelamatkan hutan."

Menurut Gus Dur, hukum di Thailand menetapkan bahwa seorang pendeta Budha tidak diperbolehkan mencampuri urusan negara. Nah, Sulaksiwaraksa itu dianggap melanggar hukum, lalu dijatuhi hukuman penjara, meskipun bukan hukuman mati.

Lalu apa dosa Biksu Sulaksiwaraksa itu sebenarnya?

"Dia melakukan aksi membungkus pohon dengan sarung layaknya pendeta Budha. Lalu pohon itu dilantiknya menjadi biksu.

Ohhh ... Internet...

Suatu kali ada Kiai Madura yang membanggakan pembangunan pesantrennya kepada Gus Dur.

"Wah.. pesantren saya sudah jadi. Lengkap, bangunannya luas, bertingkat." Katanya dengan wajah bangga. "Kapan-kapan Gus Dur harus ke sana. Soalnya sudah lengkap dengan eternit!" tambahnya.

"Eternit?" tanya Gus Dur sambil berfikir, setiap bangunan kan memang perlu eternit.

"Payah moso enggak ngerti. Itu loh yang pakai komputer...!"

"Ohhh.. internet," jawab Gus Dur bersama-sama beberapa orang yang hadir sambil tertawa.       

Keputusan Rapat...

Saat masih berada di bangku sekolah, Gus Dur memang terkenal sebagai anak yang usil bin jail.

Pernah suatu kali dia berusaha mengerjai guru Bahasa Inggrisnya, dengan seember air, yang digantung di pintu kamar mandi di sekolahnya. Karuan saja, saat sang guru hendak membuka pintu, "Byuur!" basah kuyuplah sang guru asal Batak tersebut.

Namun ketika sang guru bertanya, "Siapa yang punya ide untuk menaruh ember itu di situ?"

Sambil menahan tawa Gus Dur menjawab, "Awalnya memang saya yang punya ide Bu. Tetapi kemudian sudah menjadi keputusan rapat."        

"Dimasukkan Kertas To Yo!"...

CERITA ini sudah lama, sewaktu Almarhum Gus Dur masih menjabat sebagai orang nomor satu di PBNU. Kantor PBNU waktu itu baru saja dilengkapi dengan mesin faksimili.

Hari itu, Arifin Junaidi (Wakil Sekjen PBNU kala itu) tengah memperagakan cara mengirim faksimili di depan Gus Dur. Di saat bersamaan mantan Presiden RI keempat ini kedatangan seorang rekannya. Mereka bertiga jadi memperhatikan mesin canggih itu.

"Loh ngirim tulisan pakai mesin ini apa bisa diterima persis di sana?" tanya rekan Gus Dur terheran-heran.

Arifin menjawab yakin, "Lah iya no!"

Setelah Arifin memfaksimili, tiba-tiba ada faks masuk. Mendengar bunyi dan masuknya faks itu membuat rekan Gus Dur semakin kagum saja.

"Wah mesin faks ini memang luar biasa, nggak masuk di akal ya," komentar rekan Gus Dur itu sambil geleng-geleng kepala.

Spontan Gus Dur langsung nyeletuk, "Ya jangan dimasukkin akal dong, dimasukin kertas to yo," jawab ringan Gus Dur menggunakan dialek Jawa.

Ternyata Megawati Bersaudara dengan Gus Dur?...

DALAM dialog TVRI, yang dipandu Garin Nugroho dan Usi Karundeng, saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur ditanya tentang hubungannya yang memburuk dengan Megawati. Gus Dur pun membantahnya.

Sebab, kata dia, dirinya dan Megawati masih kerabat cukup dekat. Loh ini benar-benar berita baru. Dari mana asal-usul hubungan kekerabatnnya itu?

"Lah Megawati itu kan anaknya Bung Karno," jawab Gus Dur, tentu semua orang sudah tahu. "Lah Bung Karno itu siapa? Kan keturunan Raden Patah (Raja pertama kerajaan Islam Demak) Saya sendiri siapa? Saya ini keturunan adiknya Raden Patah," imbuhnya.

Tentu saja pernyataan ini membuat pekerjaan besar para sejarahwan Indonesia, untuk mengecek kebenaran info dari Gus Dur itu. Yang jelas jajaran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sendiri sungguh tak paham ihwal hubungan darah Gus Dur dan Megawati ini.

Seorang tokoh PKB, saat ditanya wartawan di Gedung DPR sambil mengangkat tangan mengaku, "Wah soal ini saya tidak tahu menahu," dan buru-buru melangkah pergi, khawatir diminta penjelasan mengenai ketidaktahuannya itu.

TK Abdurrahman Wahid...

SETELAH Gus Dur meninggal dunia, banyak pihak yang mengusulkan agar namanya diabadikan sebagai nama antara lain pada universitas, museum, nama jalan. Hal ini sebagai bentuk apresiasi atas jasa-jasa mantan Presiden RI tersebut.

Misalnya Universitas Abdurrahman Wahid di Jakarta, Museum Gus Dur di Jombang, Jalan Abdurrahman Wahid di Surabya, serta Wahid Institute.

Maraknya perbincangan itu membuat pengurus LTMI PBNU Mukhlas teringat dengan humor Gus Dur waktu berkunjung ke Jombang.

Di tempat kelahirannya itu, kata Mukhlas, Gus Dur pernah bercerita bahwa nama kakeknya telah diabadikan menjadi nama universitas, yaitu Institut Keislaman Hasyim Asy'ari (IKAHA) Tebuireng.

Sementara nama ayahnya telah diabadikan menjadi nama SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng dan SMP A. Wahid Hasyim. “Nah berarti saya nanti cuma kebagian TK Abdurrahman Wahid,” ujar Gus Dur, seperti ditirukan Mukhlas.

Rahasia Tidur tapi Tetap Sadar...

Soal Gus Dur ditengah-tengah acara dan ketika gilirannya bicara tetap bisa nyambung dalam konteks yang dibicarakan sebelumnya telah membuat heran banyak orang.

Berbagai analisis pun dilakukan, ada yang menganggap ini bukti ilmu linuwih dari Gus Dur sementara yang lain beralasan Gus Dur hanya menduga-duga arah pembicaraan sebelumnya, lalu menyambungkannya. Mereka beralasan ini hanya soal kecerdasan saja, tak ada hubungannya dengan sesuatu yang sifatnya supra natural, apalagi Gus Dur sudah tahu watak orang sehingga bisa memperkirakan arah pembicaraan, ditambah bacaannya banyak, sehingga klop.


Lalu bagaimana jika tema yang dibicarakan sebuah persoalan penting yang tak ada dalam wacana keilmuan, sebuah persoalan kongkrit yang harus dipecahkan bersama?
H Ahmad Bagdja, sekjen PBNU era Gus Dur juga memiliki kisah soal tidur Gus Dur ini ketika memenuhi undangan Wapres Try Sutrisno untuk dimintai masukan pendirian masjid agung Al Akbar Surabaya. Datang memenuhi undangan Rais Aam KH Ilyas Ruhiyat, Gus Dur, Bagdja dan KH Imron Hamzah, rais syuriyah PWNU Jatim.

Ketika Try Sutrisno sedang berbicara, ia melihat Gus Dur tertidur. Karena duduk bersebelahan, lalu Gus Dur dibangunkan, digerak-gerakkan tangannya. Lalu tapi Gus Dur berbisik, “Ya, saya denger kok”
“Tapi ketika giliran Gus Dur bicara, memang bisa nyambung,” kata Bagdja.
Dilain waktu setelah kejadian tersebut, Bagdja pun memberi saran kepada Gus Dur bagaimana agar ketika tertidur, posisi badannya tidak seperti orang yang sedang tidur, atau sebenarnya sedang mendengarkan, tetapi terlihat seperti orang sedang mengantuk, karena bisa membuat suasana tidak enak. Tapi Gus Dur pun menjawab, “Ente ngak ngerti ilmunya, ada caranya. Ini persoalan membangun kesadaran saja, yang bisa dilatih.”
Ilmu ini, kata Gus Dur, penting untuk bisa istirahat kapan saja. Tidur bagi Gus Dur bukan berarti kehilangan kesadaran.

Sejauh ini, belum ada orang yang mewarisi ilmu Gus Dur yang satu ini dan kalau memang bisa dilatih, bagaimana prosesnya, Gus Dur tak menjelaskan.
“Kalau pun bisa, belum tentu ada yang berani tidur ditengah-tengah acara,” tandasnya.

Source
Author:  Mukafi Niam / 10/02/2012
http://kangnarada.wordpress.com/2012/02/10/rahasia-tidur-gus-dur-tapi-tetap-sadar/

Nyebut Bang!...

PENAMPILAN Gus Dur ketika memberikan pengantar pidato kenegaraan menyambut HUT ke-55 Kemerdekaan RI di Sidang Paripurna DPR Agustus 2000, jauh berbeda dibanding saat ia hadir di tempat yang sama untuk menjawab interpelasi DPR. Kali ini dia tampak tegang. Wajahnya agak cemberut.

Namun segala ketegangan akhirnya cair juga. Para anggota DPR malah beberapa kali dibuat terpingkal-pingkal oleh guyonannya.

Di tengah-tengah pidato tanpa teks itu, Gus Dur bercerita tentang seorang kondektur bus asal Sumatera Utara yang bergelantungan di pintu bus. Ketika bus melaju kencang, rupanya sopir bus tak tahu kalau sang kondektur terjatuh kesenggol bus lain. Sang kondektur pun jatuh tersungkur. Kepalanya langsung membentur jalan dan retak. Napasnya sudah Senin Kemis terputus-putus.

Saat itulah datang seorang Betawi yang mencoba menolong kondetktur yang sekarat itu.

"Bang nyebut bang, nyebut," katanya sambil mendekatkan mulutnya ke telinga kanan kondektur itu.

Maksud orang Betawi ini, agar kondektur yang sekarat tadi menyebut kalimat Syahadat La ilaha ilallah, sebelum meninggal. Tapi karena kondektur tadi bukan orang Islam, dia mengaitkan permintaan nyebut tadi dengan profesinya.

Maka sesaat sebelum menghembuskan napas terakhirnya, sang kondektur tadi sempat menyebut, "Blo..M-Depo....Blo M-Depo..."        

Jihad dan Jahid?...

AMBON bergejolak. Kerusuhan belum juga reda setelah dua tahun berlangsung. Sebagian masyarakat pun berdemonstrasi di depan Istana Presiden.

Presiden kala itu dijabat oleh Gus Dur, yang telah wafat pada 30 Desember 2009.

Mereka dengan mengatasnamakan kepentingan umat Islam, meminta pemerintah segera menyelesaikan kasus Maluku, yang belum juga tampak tanda-tanda akan reda. Mereka mengancam, kalau pemerintah tidak tidak bisa bisa menyelesaikan kasus itu, mereka akan pergi berjihad ke kota di Indonesia Timur itu.

Melihat massa yang berdemonstrasi begitu banyak, di depan Istana pula, Gus Dur mempersilakan wakil mereka untuk berdialog di dalam Istana.

Dalam dialog yang berlangsung, rupanya titik temu sulit tercapai. Bahkan sesekali terdengar suara keras dari luar ruangan tempat pembicara mereka. Rupanya demonstran bersikeras akan tetap berjihad ke Ambon.

Pertemuan yang hanya berlangsung beberapa menit itu, lantaran tegangnya suasana, akhirnya bubar tanpa kesepakatan tanpa apa-apa.

Dua hari kemudian, kepada sejumlah tamu yang berkunjung ke Istana. Presiden Gus Dur menceritakan peristiwa itu. Dia lalu menyatakan, pemerintah akan bertindak tegas.

"Saya tidak perduli," tandas Gus Dur.

"Yang Kristen kek, yang Islam kek , kalau menggagu keamanan akan kita tindak. Mau jihad kek, mau jahid kek, kalau mengganggu akan ditangkap!"

Para tamunya hanya terngaga saja, tak sempat bertanya. Mestinya mereka boleh tanya, "Kalau jihad sih kita sudah paham. Tapi jahid itu apa artinya Gus?

Menyengsarakan Anggota DPR...

SUATU hari di negara antah berantah, muncul suatu kebijakan baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya di negara lain.

Kebijakan itu yakni, setiap orang yang berstatus wakil dinaikkan pangkatnya. Wakil presiden jadi presiden, wakil direktur menjadi direktur, wakil komandan menjadi komandan wakil gubernur menjadi gubernur, wakil RT menjadi ketua RT dan seterusnya. Yang penting dalam program ini tidak ada penggusuran posisi. Perkara ada posisi ganda, itu bisa diatur dalam pembagian tugasnya.

Masalah pembengkakan anggaran, semua ditanggung oleh negara. Sesudah mantap dengan rencana itu, diajukanlah program ini ke DPR untuk mendapatkan persetujuan mereka. Ternyata mereka menolak. Betul-betul menolak keras. Bahkan, ditolak mentah-mentah dengan sangat keras.

Alasannya, program ini menyengsarakan anggota DPR. Bayangkan, mereka akan berubah status dari wakil rakyat menjadi rakyat.

Tarawih Diskon...

PADA masa kekuasaan Presiden Habibie, Gus Dur pernah mampir ke rumah Pak Harto di Cendana. Gus Dur mengajak seorang yang disebut dengan "kiai kampung" dari Metro, Lampung Tengah. Waktu itu bulan puasa.

Setelah berbuka dan omong-omong seperlunya, Pak Harto nyeletuk, "Gus Dur dan Pak Kiai ini bakal sampai malam kan di sini?"

"O tidak," jawab Gus Dur. "Saya harus segera pergi, karena ada janji dengan Gus Joyo, adik Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tapi Pak Kiai ini biar tinggal di sini. Maksudnya buat ngimami (menjadi imam) salat taraweh, kan?"

Pak Harto manggut-manggut.

"Tapi," lanjut Gus Dur, "Sebelumnya perlu ada klarifikasi dulu?"

"Klarifikasi apa?" tanya Pak Harto.

"Harus jelas dulu, Tarawihnya mau pakai gaya NU? Kalau NU lama bagaimana, kalau NU baru bagaimana?" tanya Pak Harto makin heran.

"Loh apa ada macam-macam gaya NU? Kalau gaya NU lama, tarawihnya 23 rakaat. Gaya NU baru, diskon 60 persen (11 rakaat)!"

Pak Harto cuma ketawa, karena tidak terlalu paham. Dan Pak Kiai nyeletuk, "Iya, deh. Diskon 60 persen pun nggak apa-apa,"

Harap diketahui, "Tarawih diskon" menjadi 11 rakaat itu adalah gaya Muhammadiyah.

Keluarga Pak Harto sendiri disebut orang "Hidup dengan cara Muhammadiyah, mati dengan cara NU". Sebab, Pak Harto pernah mengaku bahwa dia semasa sekolah di Yogyakarta belajar di SMP Muhammadiyah (jadi "berakidah" Muhammadiyah). Tapi ketika Bu Tien meninggal, rumahnya di Cendana sibuk dengan macam-macam tahlilan (tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari dan seterusnya), yang merupakan trade mark NU.

Jadi kalau Gus Dur menawarkan "Tarawih diskon" 11 rakaat itu, Pak Harto dengan senang hati menerima saja. Itu artinya kembali ke "khittah".